QQ289 - SITUS ONLINE TERPERCAYA

Bangsa Indonesia memeringati Hari Kartini setiap tanggal 21 April. Hari Kartini diperingati untuk mengenang jasa Raden Adjeng Kartini sebagai pahlawan perempuan dan pejuang emansipasi wanita di Indonesia.

Berkat Kartini, perempuan Indonesia diakui keberadaannya di ruang publik, tak hanya di ranah domestik. Mereka punya hak dan kesempatan yang sama seperti lelaki, bisa pergi sekolah, bekerja, berkarya, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Untuk menghormati dan mengingat perjuangan Kartini, pemerintah kemudian menetapkan Hari Kartini setiap tanggal 21 April. Hari Kartini mulai diperingati sejak pemerintahan Presiden pertama RI, Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Keputusan Presiden tersebut menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional serta menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahunnya, meski tidak ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Seperti apa perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia? Berikut ini kisahnya.

Lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879, Kartini punya nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Ia lahir dari keluarga bangsawan Jawa.

Ayahnya merupakan seorang Bupati Jepara bernama R.M Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Sosroningrat dikenal sebagai bupati yang pandai berbahasa Belanda.

Kemampuan bahasa Belanda tersebut kemudian diturunkan pada Kartini. Ia belajar secara otodidak dan mulai menulis surat dengan sahabat pena yang juga berasal dari Belanda.

Sedangkan ibu Kartini bernama M.A Ngasirah, merupakan anak dari seorang kyai atau guru agama di Teluk Awur, Kota Jepara. Ngasirah bukanlah keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa.

Semasa hidupnya, Kartini melihat banyak diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita. Pada masa itu, banyak perempuan sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku pendidikan. Namun sebagai seorang bangsawan, Kartini mendapat keistimewaan untuk bersekolah. Ayahnya menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah tersebut, Kartini juga mempelajari bahasa Belanda. Lantaran tradisi pada masa itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk 'dipinggit', maka Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.

Di sinilah sejarah perjuangan Kartini bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. Salah satunya yaitu Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.

Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api semangat pembaruan di dalam hatinya. Dari surat-menyurat itu, ia mendapat pencerahan soal hak-hak kaum perempuan. Lalu timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu memiliki status sosial yang sangat rendah.

Lewat surat, Kartini menceritakan kondisi wanita di Indonesia. Ia menuliskan mengenai penderitaan perempuan Jawa seperti harus menjalani pingit, tidak bisa bebas berpendapat, dan tidak dapat menempuh pendidikan.

Kartini juga menulis mengenai makna Ketuhanan dan juga nasionalisme. Temannya dari Belanda yang bernama Rosa Abendanon dan Estelle "Stella" Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh Kartini.

Sejak remaja, Kartini banyak membaca De Locomotief, sebuah surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah mengenai kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Kartini kecil juga sering mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Buku-buku bertuliskan Belanda tersebut membuat pikiran Kartini semakin terbuka dan maju.

Ketertarikannya dalam membaca membuatnya memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata mengenai emansipasi wanita, namun juga masalah sosial umum.

Perjuangan awal Kartini dimulai saat ia mendirikan sekolah khusus putri di Jepara. Di sekolah tersebut, mereka diajarkan mengenai cara membaca, menulis, menjahit, menyulam, dan memasak.

Kartini juga bahkan bercita-cita untuk menjadi seorang guru, meskipun keinginannya tersebut tidak pernah terwujud karena ia harus menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang Bupati Rembang, di usia yang muda.

Beruntung, suami Kartini sangat mengerti cita-cita istrinya dan mengizinkannya untuk membangun sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang Kompleks kantor Kabupaten Rembang. Di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Berkat kegigihan Kartini, akhirnya didirikanlah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada tahun 1912 dan kemudian di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan sejumlah daerah lainnya. Nama-nama sekolah tersebut dinamakan "Sekolah Kartini".

Sebelum sempat melihat hasil jerih payah perjuangannya dalam memberdayakan wanita, Kartini menghembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan putranya bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Kartini meninggal empat hari setelah putranya melahirkan, tepatnya pada 17 September 1904. Jasad Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.